Khotbah Ev. Evie Mehita : Mulutmu Harimaumu

Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;
sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.
Yakobus 1:19-21
Siapa sih, yang tidak suka berkata-kata? Semakin ramai, semakin asyik!
Firman Tuhan berkata kita tidak bisa menghalangi apa yang akan kita dengar, bisa berita buruk, berita negatif, prasangka orang, gosip dan lain sebagainya. Namun kita belajar untuk tidak langsung memberikan reaksi atas apa yang kita dengar. Lambat berkata-kata dan lambat untuk marah. Sebelum kita bereaksi, cobalah kita memikirkan dahulu apa yang kita dengar dengan kepala dingin, sehingga kita akan dihindarkan dari dosa amarah.
Semakin banyak berkata-kata, semakin banyak hal negatif yang kita terima. Semakin kita mengungkapkan isi hati dan ingin membereskan sesuatu kepada seseorang, justru semakin membuat sesuatu menjadi tidak beres dan akan membuat kedua pihak semakin menjauh.
Amarah manusia tidak pernah menghasilkan kebenaran. Lalu bagaimana dengan amarah Tuhan? Kita semua tahu bahwa Tuhan pun pernah marah. Tetapi amarah Tuhan berbeda, amarah Tuhan berdasarkan kebenaran, kebijaksanaan hati Tuhan dan memiliki tujuan kepada sesuatu yang baik. Namun amarah manusia seringkali hanya berdasarkan pada kedagingan semata sehingga tidak benar di hadapan Tuhan.
Tetapi pada hari sesudah bulan baru itu, pada hari yang kedua, ketika tempat Daud masih tinggal kosong, bertanyalah Saul kepada Yonatan, anaknya: “Mengapa anak Isai tidak datang makan, baik kemarin maupun hari ini?”Jawab Yonatan kepada Saul: “Daud telah meminta dengan sangat kepadaku untuk pergi ke Betlehem, katanya: Biarkanlah aku pergi, sebab ada upacara pengorbanan bagi kaum kami di kota, dan saudara-saudaraku sendirilah yang memanggil aku. Oleh sebab itu, jika engkau mengasihi aku, berilah izin kepadaku untuk menengok saudara-saudaraku. Itulah sebabnya ia tidak datang ke perjamuan raja.”
Lalu bangkitlah amarah Saul kepada Yonatan, katanya kepadanya: “Anak sundal yang kurang ajar! Bukankah aku tahu, bahwa engkau telah memilih pihak anak Isai dan itu noda bagi kau sendiri dan bagi perut ibumu? Sebab sesungguhnya selama anak Isai itu hidup di muka bumi, engkau dan kerajaanmu tidak akan kokoh. Dan sekarang suruhlah orang memanggil dan membawa dia kepadaku, sebab ia harus mati.”
Tetapi Yonatan menjawab Saul, ayahnya itu, katanya kepadanya: “Mengapa ia harus dibunuh? Apa yang dilakukannya?” Lalu Saul melemparkan tombaknya kepada Yonatan untuk membunuhnya. Maka tahulah Yonatan, bahwa ayahnya telah mengambil keputusan untuk membunuh Daud.
1 Samuel 20:27-33
Amarah Saul tidak dapat dibendung lagi dan ketika Yonatan, anak Saul sendiri yang begitu mengasihi Daud, tidak menerima amarah Saul tersebut, sehingga Saul menjadi begitu marah dan melempar tombak kepadanya. Saul mengalami amarah yang tidak terkendali.
Setiap emosi negatif kita memiliki magnet untuk berhubungan dengan emosi-emosi dan dosa-dosa lainnya.
Tetapi pada waktu mereka pulang, ketika Daud kembali sesudah mengalahkan orang Filistin itu, keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing; dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.“
1 Samuel 18:6-7
Saul begitu membenci Daud. Pada awalnya, ia tidak membenci Daud, bahkan ia menyukainya. Saul memberikan peralatan perangnya ketika melawan Goliat, ia senang mendengar permainan kecapi Daud. Tapi ketika Daud semakin diangkat Tuhan dan dipuji-puji oleh bangsa Israel, Saul menjadi sangat iri kepada Daud. Saul merasa tidak aman dan tidak yakin akan panggilan Tuhan. Saul memiliki permasalahan dalam dirinya yang belum dibereskan, dan ketika area ini tersentuh, ia menjadi begitu marah. Area tersebut adalah dibandingkan. Setiap kita mungkin tanpa sadar, sejak kecil, kita dibandingkan. Hal inilah yang membaut emosi kita menjadi berantakan. Ada emosi yang tidak terlihat, ada emosi yang terlihat dari sikap dan kata-kata. Mengapa kita marah?
- Ketidakadilan
Ada ketidakadilan yang memang benar-benar merupakan ketidakadilan, ada ketidakadilan yang hanya merupakan versi ktia sendiri. Ketidakadilan membuat hati kita terluka dan kita menjadi marah. - Frustasi
Frustasi karena tidak mendapatkan sesuatu yang kita harap-harapkan. - Tersakiti
Orang yang tersakiti cenderung melindungi diri dengan amarah. - Avon
Banyak orang berkata bahwa sifat pemarah adalah turunan, tetapi kita memiliki Roh Kudus yang menuntun kita untuk berubah. - Perlakuan yang diterima waktu kecil
Perlakuan yang kita terima saat kecil akan membentuk kepribadian dan karakter kita.
Amarah yang sesuai dengan Firman Tuhan bukan merupakan seuatu dosa, tapi amarah yang tidak sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan adalah dosa. Marah berdasar tujuan, amarah berdasarkan kebenaran adalah amarah sesuai Firman Tuhan, tapi amarah berdasarkan situasional, amarah dari daging adalah dosa.
Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa.
Yakobus 4:2
Manusia menjadi iri hati karena menginginkan apa yang bukan atau belum menjadi haknya. Orang tua, sahabat, anak-anak kita membandingkan mana yang lebih baik dan lain-lain. Ini sangat merusak. Manusia menjadi iri hati karena menginginkan apa yang belum atau bukan menjadi haknya.
Hal penyebab iri hati dalam diri manusia yang kedua adalah gambar diri yang rusak. Kita ingin dikasihi seperti orang lain, kita merasa tidak dikasihi dan dihargai kalau cara mengasihinya tidak seperti yang kita bayangkan. Kalau kita tidak menerima seperti apa yang kita pikirkan, kita merasa tidak dicintai.
Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.
Yakobus 3:16
Orang egois adalah orang yang melihat kebahagiaan diri sendiri. Karena itulah kita belajar untuk melayani, melayani Tuhan dan sesama. Dengan kita melayani, kita akan melihat pada Tuhan dan sesama. Kalau kita hanya melihat diri sendiri, kita akan hancur. Ketika kita sudah lemah dan lelah untuk pelayanan, apa yang mempertahankan kita kalau bukan Tuhan dan sesama. Kalau kita melihat diri kita sendiri, kita tidak akan pernah bisa bertahan dan kita akan hancur. Bahkan dalam dosa sekalipun, jangan kita terus menerus melihat pada dosa, tetapi kita belajar untuk melihat Yesus dan tidak melihat diri sendiri.